Minggu, 26 Desember 2010

Militer dan Politik di Argentina 1955-1982


Pendahuluan
            Dalam keadaan tertentu, seringkali militer ikut campur dalam kekuasaan sipil yang dilembagakan. Fenomena ini hampir dialami oleh semua negara di seluruh dunia, tidak terkecuali Amerika Latin. Namun seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit negara-negara tersebut mengalami demokratisasi, seperti Peru (1980), Bolivia (1982), Argentina (1983), Brazil (1985). Walaupun ada beberapa negara seperti kuba, yang hingga saat ini masih di bawah kekuasaan militer.
Argentina termasuk negara yang fluktuatif akan adanya intervensi militer. Militer mengintervensi kekuasaan sipil negara ini sejak tahun 1930-1983. Tahun 1955 terjadi kudeta terhadap Presiden Juan Peron, yang memerintah sejak tahun 1946, dan memaksa Presiden Juan Peron harus mengungsi ke Spanyol. Walaupun kekuasaan diserahkan kembali kepada sipil pada tahun 1958, namun militer tetap menjadi bayang-bayang bagi kekuasaan sipil.
Tahun 1958-1962 presiden dipangku oleh Arturo Frondizi. Kekuasaannya tetap di bawah bayang-bayang militer, hal ini bisa dilihat ketika militer memaksanya untuk memecat beberapa pejabat yang anti pada militer dan menggantikannya dengan orang-orang yang berada di bawah komando militer.
Tahun 1962 militer memaksa Arturo Frondizi mundur dan pada tahun 1963terpilih presiden Arturo Lllia. Namun tahun 1966 arturo Lllia dikudeta tak berdarah oleh militer. Tahun 1973 peron kembali ke Argentina dari pengungsiannya di Spanyol. Dia menggerakkan mahasiswa dan buruh untuk mengadakan pemilihan secara demokratis. Di tahun itu juga Juan Peron kembali berkuasa lewat pemilihan umum, tahun 1973, namun ia meninggal juli 1974 dan digantikan oleh istrinya Isabel Peron. Tahun 1976 isabel peron dikudeta oleh militer dan militer kembali berkuasa hingga tahun 1982.[1]
Kekuasaan militer di Argentina yang paling sadis dan membunuh partisipasi rakyat secara penuh adalah periode tahun 1976 hingga tahun 1982, dimulai ketika kudeta terhadap presiden Isabel Peron. Setelah itu argentina mengalami teror politik yang berkepanjangan yang disebut dengan perang kotor (the dirty war). Hal itu dilakukan dengan dalih untuk keamanan nasional yaitu menghapus gerakan sosialis/komunis yang berkembang saat itu. Namun itu juga merupakan klimaks kekuasaan militer. Yang juga merupakan transisi dari kekuasaan militer ke kekuasaan sipil. Kekuasaan diktator militer ini berakhir setelah negara ini kalah oleh Inggris pada perang Malvinas, yang kemudian memaksa harus melakukan pemilihan umum secara demokratis.Tahun 1983 argentina telah melakukan pemilihan umum secara demokratis. Ini yang Samuel P. Huntington golongkan pada gelombang ketiga demokrasi yang terjadi di Amerika latin.
Dalam bab berikutnya kami akan membahas bagaimana orientasi militer periode 1955-1982 dan bagaimana kudeta itu berkembang.

Pembahasan
Orientasi Militer
            Orientasi militer terdiri dari tiga jenis, prajurit pretorian; prajurit profesional; prajurit revolusioner. Prajurit pretorian terdiri dari tiga macam: moderator pretorian; pengawal pretorian; penguasa pretorian. Setiap jenis militer memiliki ciri tertentu yang menjadi pembeda diantara jenis-jenis orientasi militer  yang ada. Seperti moderator pretorian, militer muncul sebagai pemegang  kekuasaan politik, walaupun sipil yang memerintah, namun kekuasaan diawasi oleh militer. Militer tidak menerima supremasi atas sipil dan terkadang menggunakan ancaman kudeta. Ciri dari pengawal pretorian, militer dapat melakukan kudeta dan menguasai pemerintahan, tapi hanya beberapa waktu (2-4 tahun) . militer juga yakin bahwa tujuan dan sasaran pemerintahan hanya akann tercapai bila militer sendiri yang memerintah.
            Penguasa Pretorian merupakan ciri atau orientasi militer yang membatasi atau bahkan memberangus partisipasi. Militer tidak hanya menguasai pemerintahan, tapi juga mendominasi rejim, menguasai kehidupan, sosial, dan politik.
            Setelah berkuasa selama sembilan tahun dari tahun 1946, kekuasaan Juan Peron harus berakhir tragis setelah  militer menyerang kota Casa Rosada, pusat pemerintahan Argentina dan mengkudeta Peron Tahun 1955. Untuk menyelamatkan diri, Juan Peron waktu itu harus mengungsi ke Spanyol. Militer berkuasa selama tiga tahun, setelah itu pemerintahan dipegang oleh Arturo Frondizi tahun 1958. Orientasi militer pada waktu itu termasuk dalam pengawal pretorian, hal ini dapat dilihat dari kudeta dan kekuasaan yang berlangsung. Militer saat itu juga yakin bahwa  tujuan dan sasaran militer akan tercapai bila mereka sendiri yang memerintah. Paska kudeta, militer hanya berkuasa selama tiga tahun, tahun 1958 Arturo Frondizi dari kalangan sipil terpilih sebagai presiden dan berkuasa selama empat tahun. Selama pemerintahan Arturo Frondizi orientasi militer beralih pada moderator pretorian, dimana pemerintahan tetap membayangi kekuasaan sipil. Hal ini bisa kita lihat ketika pemerintahan Arturo Frondizi, banyak pejabat yang kontra atau anti kepada militer yang diberhentikan secara sepihak dan digantikan oleh orang-orang yang dekat dengan militer.[2] Dari hal tersebut dapat kita anggap bahwa militer memiliki pengaruh yang sangat tinggi. Militer juga menghindari diri untuk menguasai pemerintah.
Tahun 1962 Arturo Frondizi dipaksa mengundurkan diri oleh milter. Tahun 1963 terpilih presiden Arturo Llia. Arturo Llia hanya bertahan tiga tahun, kemudian dikudeta dengan tenang oleh militer tahun 1966. Dua periode presiden tersebut, orientasi militernya adalah pengawal pretorian, kekuasaan sipil dibawah bayang-bayang militer, militer juga tidak segan-segan melakukan kudeta ketika kebijakan yang terbangun kontra dengan militer.
Tahun 1973, Peron kembali dari pengungsiannya spanyol. Dia menggerakkan para mahasiswa dan buruh untuk memaksa militer mengadakan pemilihan umum yang bebas. Di tahun itu pula Peron kembali terpilih menjadi presiden untuk yang kedua kalinya setelah kudeta tahun 1955 menggulingkannya dari kursi kepresidenan, dan istrinya Isabel Peron terpilih menjadi wakil presiden. Juli 1974, Peron meninggal dan digantikan oleh Istrinya Isabel Peron. Keadaan inflasi yang tinggi, kekerasan politik dan krisis buruh yang diwarisi oleh presiden sebelumnya[3] memaksa militer melakukan kudeta tahun 1976. Kudeta yang dilakukan oleh Jenderal Jorge Rafael Videla dari angkatan udara itu merupakan awal dari kekuasaan militer secara penuh. Jorge Videla berkuasa dari tahun 1967 hingga 1981, yang kemudian diganti oleh Roberto Eduardo Viola, Leopolda Galteri, dan Reynaldo Bignone hingga 1983. Paska kudeta 1976 militer berkuasa sepenuhnya. Empat jenderal militer yang berkuasa secara bergantian tersebut menyebarkan teror politik  kepada rakyat.
 Junta militer Argentina di bawah kepemimpinan Jenderal Jorge Rafael Videla telah melakukan praktik penghilangan paksa secara sistematik dan terencana untuk menjaga stabilitas keamanan nasional Argentina. Videla menciptakan teror politik berkepanjangan dalam satu aksi yang dikenal sebagai periode “Perang Kotor” (the dirty war)[4] kepada seluruh rakyat Argentina. Rezim tiran tersebut telah mengeksekusi puluhan ribu warga negara Argentina yang tidak bersalah dengan dalih menumpas ideologi komunis/sosialis yang bertentangan dengan prinsip junta militer. Mereka yang menjadi korban dan telah dihilangkan akan mengalami praktik penghilangan paksa secara sistematis: para korban terlebih dahulu diculik, ditahan, disiksa dan kemudian dihilangkan menggunakan instrumen represi junta militer yang kerap disebut sebagai pasukan maut (death squads). Mereka yang dihilangkan sebagian besar juga dibuang hidup-hidup di tengah lautan Samudera Atlantik dengan pesawat (death flights).[5]
Periode junta militer tahun 1973-1982 tergolong pada penguasa pretorian. Militer tidak saja menguasai pemerintahan, tapi juga mendominasi rejim dan menguasai kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Junta militer memberangus partisipasi politik, tidak ada yang berani melawan karena perlawanan terhadap militer dianggap sebagai golongan komunis dan layak untuk diasingkan atau bahkan tidak segan-segan untuk dibunuh. Tidak ada batas waktu kekuasaan militer, jika bukan karena kekalahan pada perang Malvinas, barangkali militer akan terus menguasai negara ini.
Tahun 1923 militer argentina mencoba untuk melakukan ekspansi terhadap pulau malvinas yang waktu itu masih di bawah kekuasaan Inggris. Militer Argentina harus berhadapan dengan Inggris sebagai penguasa atas pulau itu. Kekalahan terhadap Inggris memaksa mundur militer dari pemerintahan dan tahun 1983 melakukan pemilihan umum secara demokratis.
Bagaimana Kudeta berkembang di Argentina
Ketika militer melakukan kudeta terhadap kekuasaan sipil, menurut Huntington militer dihadapkan pada mempertahankan kekuasaan atau mengembalikan kepada sipil dan memperluas partisipasi atau membatasi partisipasi[6]. Dengan demikian, pimpinan rezim militer dihadapkan kepada:
  • Mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi
  • Mempertahankan kekuasaan dan memperluas partisipasi
  • Mengembalikan kekuasaan dan membatasi partisipasi, dan
  • Mengembalikan kekuasaan dan memperluas partisipasi.
Di argentina antara kurun waktu 1955-1982, adanya perbedaan pimpinan rezim militer menjadi faktor bagaimana militer akan mengembangkan kudeta.
            Untuk melihat bagaimana kudeta berkembang di Argentina, kita dapat melihatnya dari data-data sejarah. Penulis membagi periode 1955-1982 menjadi dua, mengingat ada beberapa periode kudeta, dimana militer mengembankan kudeta yang sama. Yang pertama Periode 1955 hingga 1967. Dari periode tersebut, terjadi tiga kudeta oleh rezim militer. Namun setelah melakukan kudeta, militer hanya berkuasa beberapa tahun kemudian menyerahkannya kembali kepada sipil. Dalam periode tersebut militer juga tidak terlalu membatasi partisipasi rakyat. Hal ini bisa kita lihat ketika Juan Peron kembali dari pengasingannya spanyol tahun 1973, kemudian membangun kekuatan dengan para mahasiswa dan buruh untuk mendesak militer melakukan pemilihan secara bebas. Dan terbukti, ketika itu Juan Peron mampu menduduki kursi kepresidenan dan istrinya Isabel Peron menjadi wakil presiden.
            Berbeda dengan kudeta tahun 1976, ketika Isabel Peron dikudeta oleh militer yang dipimpin oleh Jenderal Jorge Rafael Videla. Saat itu militer berkuasa secara penuh dan membatasi atau bahkan memberangus partisipasi rakyat. Yang lebih parah lagi, paska kudeta, terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap rakyat Argentina. Selain itu Jorge Rafael Videla melakukan teror politik dalam satu aksi yang disebut perang kotor (dirty war). Saat itu, tindakan militer yang represif  menggunakan dalih untuk keamanan nasional dari gerakan sosialis/komunis.

Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan, selama periode 1955-1982 militer Argentina berkuasa atas kekuasaan sipil yang dilembagakan. Hanya saja dari beberapa kudeta yang terjadi, orientasi militer berbeda-beda, mulai dari moderator pretorian selama tahun 1955-62, pengawal pretorian selama tahun 1955-1976 dan penguasa pretorian tahun 1976-1982 yang diawali kudeta terhadap presiden Isabel Peron.
            Kudeta yang berkembang dalam periode 1955-1982, terbagi menjadi dua. Pada tahun 1955-1976 paska kudeta, militer mengembalikan kekuasaan kepada sipil dan memperluas partisipasi. Namun tahun 1976-1982, militer berkuasa secara penuh dan membatasi partisipasi atau memberangus partisipasi rakyat.

 Daftar Pustaka
Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 2003. Hlm. 131
http://library.usu.ac.id/download/fs/sejarah-junita.pdf
http://www.historyworld.net/wrldhis/PlainTextHistories.asp?ParagraphID=ntw
http://www.kontras.org/pers/teks/Lampiran%202%20Plaza%20de%20Mayo.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Argentina


[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Argentina
[2] http://library.usu.ac.id/download/fs/sejarah-junita.pdf
[3] http://www.historyworld.net/wrldhis/PlainTextHistories.asp?ParagraphID=ntw
[4]  Istilah Perang Kotor (the dirty war) lazimnya mengacu pada program terorisme negara untuk merespon apa yang dipahami sebagai bentuk subversi sayap kiri yang akan mengancam bentuk stabilitas negara. Strategi ketegangan yang melibatkan teror dan tekanan nyata dikembangkan sebagai bagian dari langkah pembenaran dari suatu program rezim otoriter yang menindas 
[5] http://www.kontras.org/pers/teks/Lampiran%202%20Plaza%20de%20Mayo.pdf
[6] Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 2003. Hlm. 131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar